Penggusuran Paksa Merupakan Pelanggaran HAM

Umum187 Dilihat

 

GardaPostSultra.com Sejarah Panjang dilalui negeri ini dengan berbagai peristiwa yang berhubungan dengan masyarakat. Tak jarang pula terjadi konflik sehingga pemerintah saling adu dengan masyarakat dengan masalah yang berkaitan. Entah itu masyarakat yang tidak terbuka dan tidak mengikuti aturan pemerintah atau pemerintah yang tidak memperhatikan warga dan kukuh tetap menjalankan kebijakan walaupun merugikan masyarakat.

penggusuran. Menurut Wikipedia, Penggusuran adalah suatu tindakan merobohkan bangunan yang telah dibangun sebelumnya yang dilakukan oleh pihak yang berwenang dengan beberapa sebab.

 

Ada beberapa penyebab terjadinya penggusuran yang dilakukan pemerintah, antara lain, Untuk merapikan dan menata ulang kembali suatu tempat atau wilayah, untuk memberi ruang bagi pembangunan infrastruktur dan fasilitas umum, untuk menertibkan bangunan-bangunan liar yang dibangun tanpa izin atau melanggar hukum, untuk menertibkan bangunan-bangunan liar yang mengganggu estetika kota, tata ruang kota, mengganggu kenyamanan masyarakat, dan untuk menertibkan bangunan-bangunan yang dapat merusak alam.

 

Penggusuran permukiman maupun  Kawasan Pedagang  demi  kepentingan pembangunan  sering kali dilakukan oleh pemerintah hingga saat ini. dan tidak jarang kita saksikan penggusuran secara Paksa, apalagi tanpa ganti kerugian maupun Kesepakatan bersama maupun mediasi dan Dialog, dan  atas peristiwa yang terjadi seperti di atas dapatkah dikatakan penggusuran  sebagai pelanggaran HAM?

 

Dalam instrumen hukum Indonesia, kami tidak menemukan istilah “penggusuran” atau “penggusuran paksa”. Committee on Economic, Social, and Cultural Rights berpendapat dalam Poin Ketiga General Comment No. 7 on the Right to Adequate Housing (Article 11(1) of the Covenant) bahwa:

 

Forced eviction is “the permanent or temporary removal against their will of individuals, families and/or communities from the homes and/or land which they occupy, without the provision of, and access to, appropriate forms of legal or other protection.

 

Apabila diterjemahkan secara bebas, penggusuran paksa berarti pemindahan individu, keluarga, atau kelompok secara paksa dari rumah atau tanah yang mereka duduki, baik untuk sementara atau untuk selamanya, tanpa perlindungan hukum yang memadai.

 

Patut dicatat bahwa Pasal 11 ayat (1) yang dimaksud dalam judul dokumen di atas adalah Pasal 11 ayat (1) Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya 1966 yang disahkan melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya) (“UU 11/2005”). Diterangkan bahwa:

BACA  Indomaret Kendari Rayakan HUT RI ke-79 Dengan Aksi Donor Darah,Donor Darah Aksi Nyata Untuk Negeri

 

Negara Pihak pada Kovenan ini mengakui hak setiap orang atas standar kehidupan yang layak baginya dan keluarganya, termasuk pangan, sandang dan perumahan, dan atas perbaikan kondisi hidup terus menerus. Negara Pihak akan mengambil langkah-langkah yang memadai untuk menjamin perwujudan hak ini dengan mengakui arti penting kerjasama internasional yang berdasarkan kesepakatan sukarela.

 

Selain itu, Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 Negara Republik Indonesia (“UUD 1945”) menerangkan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.

 

Apabila uraian-uraian di atas dibaca secara komprehensif, menurut hemat kami, penggusuran paksa dapat dikategorikan sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (“HAM”). Hal ini juga dikuatkan dalam Poin Pertama Commission on Human Rights Resolution 1993/77, yang bahkan menyebut bahwa penggusuran paksa adalah “gross violation of human rights” atau pelanggaran HAM berat.

 

Langkah Hukum terhadap Penggusuran Paksa

Apabila penggusuran yang Anda maksud dilakukan untuk kepentingan pengadaan tanah untuk pembangunan, maka penggusuran tersebut harusnya tunduk pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum (“UU 2/2012”). Pengadaan tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak.[1] Pemberian ganti kerugian dapat diberikan dalam bentuk:[2]

  1. uang;
  2. tanah pengganti;
  3. permukiman kembali;
  4. kepemilikan saham; atau
  5. bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak.

 

Sayangnya, tidak ada ketentuan pidana yang secara khusus diatur dalam UU 2/2012 yang dapat menjerat pemerintah jika tidak menaati ketentuan dalam UU 2/2012. Maka apabila penggusuran dilakukan tanpa ganti kerugian, menurut hemat kami, Anda dapat menggugat pemerintah secara perdata atas perbuatan melawan hukum. Hal ini diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”), yang berbunyi:

 

Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut.

 

Munir Fuady dalam buku Perbuatan Melawan Hukum: Pendekatan Kontemporer (hal. 11) menjelaskan bahwa perbuatan melawan hukum, salah satunya, adalah perbuatan yang melanggar undang-undang yang berlaku. Dalam hal ini yang dilanggar adalah UU 2/2012.

BACA  Cerita Rakyat Sulawesi Tenggara: Asal-Usul Gunung Mekongga

Gugatan pun tidak hanya dapat dilakukan perseorangan, melainkan juga dengan perwakilan kelompok. Berdasarkan Pasal 1 huruf a Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok (“Perma 1/2002”):

Gugatan Perwakilan Kelompok adalah suatu tata cara pengajuan gugatan, dalam mana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri atau diri-diri mereka sendiri dan sekaligus mewakili kelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok dimaksud.

 

Gugatan perwakilan kelompok dapat diajukan dengan ketentuan tertentu, yaitu:[3]

  1. Jumlah anggota kelompok sedemikian banyak sehingga tidaklah efektif dan efisien apabila gugatan dilakukan secara sendiri-sendiri atau secara bersama-sama dalam satu gugatan;
  2. Terdapat kesamaan fakta atau peristiwa dan kesamaan dasar hukum yang digunakan yang bersifat substansial, serta terdapat kesamaan jenis tuntutan di antara wakil kelompok dengan anggota kelompoknya;
  3. Wakil kelompok memiliki kejujuran dan kesungguhan untuk melindungi kepentingan anggota kelompok yang diwakilinya; dan

Hakim dapat menganjurkan kepada wakil kelompok untuk melakukan penggantian pengacara, jika pengacara melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kewajiban membela dan melindungi kepentingan anggota kelompoknya.                                                                                                                                                                                                                                                                     Contoh Kasus

Dalam Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 192/PDT/2018/PT.DKI, dijelaskan bahwa Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat cq. Direktorat Jenderal Sumber Daya Air cq. Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadan selaku Pembanding (Tergugat I) mengajukan banding terhadap Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 262/PDT.G.Plw/Class Action/2016/PN.Jkt.Pst.

BACA  PESAN FKP4B UNTUK FIGUR BUPATI YANG AKAN BERTARUNG PADA PILKADA BOMBANA TAHUN 2024

 

Dalam putusan banding dijelaskan bahwa Pembanding digugat melalui gugatan perwakilan kelompok (hal. 1). Para Terbanding (Para Penggugat) merupakan pemilik tanah dan bangunan di daerah Tebet, Jakarta Selatan (hal. 19). Tanah dan bangunan tersebut telah dan terhadap sisanya akan segera dihancurkan dan diambil secara paksa serta melawan hukum (hal. 19).

 

Atas perbuatan tersebut Para Tergugat telah dan akan mengalami kerugian materiil dan imateriil dan tidak mendapatkan ganti kerugian (hal. 1 – 13). Gugatan tersebut didasarkan atas Pasal 1365 KUH Perdata terkait pelanggaran terhadap kewajiban yang tercantum dalam undang-undang yang berlaku, di antaranya UUD 1945 dan UU 11/2005 (hal. 20 – 21, 62 & 65).

 

Dalam putusannya, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menguatkan kembali Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang mengabulkan gugatan perwakilan sebagian dan membebankan Tergugat I hingga Tergugat IX untuk membayar ganti kerugian kepada (hal. 109 & 113):

  1. Penggugat I: berjumlah 19 orang dan masing-masing mendapatkan ganti kerugian sebesar Rp200 juta;
  2. Penggugat II mendapatkan ganti kerugian sebesar Rp200 juta;
  3. Penggugat III: berjumlah 55 orang dan masing-masing mendapatkan ganti kerugian sebesar Rp200 juta; dan
  4. Penggugat IV: berjumlah 18 orang dan masing-masing mendapatkan ganti kerugian sebesar Rp200 juta

 

Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.

 

Dasar Hukum:

  1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
  3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya);
  4. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum;
  5. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok.

 

Referensi:

  1. General Comment No. 7 on the Right to Adequate Housing (Article 11(1) of the Covenant), diakses pada 20 November 2019, pukul 11.00;
  2. Commission on Human Rights Resolution 1993/77diakses pada 20 November 2019, pukul 11.00
  3. Munir Fuady. Perbuatan Melawan Hukum: Pendekatan Kontemporer. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2013.

 

Putusan:

  1. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 262/PDT.G.Plw/Class Action/2016/PN.Jkt.Pst;
  2. Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 192/PDT/2018/PT.DKI.

Nara Sumber : Sigar Aji Poerana, S.H.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *